Bahan pengawet adalah zat atau bahan kimia yang ditambahkan ke dalam produk seperti makanan, minuman, obat-obatan, cat, sampel biologis, kosmetik, kayu, dan produk lainnya untuk mencegah terjadinya dekomposisi yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba atau oleh perubahan kimiawi. Secara umum, pengawetan dilakukan melalui dua cara, yaitu secara kimiawi atau fisik. Pengawetan kimiawi melibatkan penambahan senyawa kimia ke dalam produk. Pengawetan fisik melibatkan berbagai proses seperti pembekuan atau pengeringan.[1] Bahan pengawet aditif makanan mengurangi risiko keracunan makanan, mengurangi paparan mikroba, dan mempertahankan kesegaran serta kualitas nutrisi produk tersebut. Beberapa teknik fisik untuk mengawetkan makanan di antaranya dehidrasi, radiasi UV-C, pengeringbekuan, dan pembekuan. Teknik pengawetan kimiawi dan fisik terkadang dikombinasikan.
Daftar isi
Pengawet antimikroba[sunting | sunting sumber]
Bahan pengawet antimikroba digunakan untuk mencegah terjadinya degradasi oleh mikroba. Metode ini merupakan tipe pengawetan yang paling tradisional dan merupakan jenis terlampau dari metode pengawetan-lampau seperti pembuatan acar dan penambahan madu untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme dengan memodifikasi tingkat pH. Pengawet antimikroba yang paling umum digunakan adalah asam laktat. Pengawet antimikroba yang umum digunakan dijelaskan pada tabel berikut.[2][3][4] Nitrat dan nitrit juga merupakan antimikroba.[5][6] Mekanisme rinci senyawa kimia ini berkisar dari penghambatan pertumbuhan bakteri hingga penghambatan enzim tertentu.
Nomor E | Senyawa kimia | Keterangan |
---|---|---|
E201 – E203 | asam benzoat, natrium benzoat | digunakan dalam makanan asam seperti selai, saus salad, jus, acar, minuman berkarbonasi, kecap |
E214 – E219 | hidroksibenzoat dan turunannya | stabil pada rentang pH yang lebar |
E270 | asam laktat | - |
E249 – E250 | nitrit | digunakan dalam daging untuk mencegah toksin botulisme |
E251 – E252 | nitrat | digunakan dalam daging |
E280 – E283 | asam propionat dan natrium propionat | makanan yang dipanggang |
E220 – E227 | sulfur dioksida dan sulfit | umum untuk buah-buahan |
E200 – E203 | asam sorbat dan natrium sorbat | umum untuk keju, wine, makanan yang dipanggang |
Antioksidan[sunting | sunting sumber]
Proses oksidasi merusak sebagian besar makanan, terutama yang memiliki kandungan lemak yang tinggi. Lemak cepat menjadi tengik bila terpapar oksigen. Antioksidan mencegah atau menghambat proses oksidasi. Aditif antioksidan yang paling umum adalah asam askorbat (vitamin C) dan askorbat.[7] Karenanya, antioksidan biasanya ditambahkan ke minyak, keju, dan keripik.[2] Antioksidan lainnya termasuk turunan fenol BHA, BHT, TBHQ dan propil galat. Agen ini menekan pembentukan hidroperoksida.[3] Pengawet lainnya termasuk etanol dan metilkloroisotiazolinon.
Nomor E | Senyawa kimia | Keterangan |
---|---|---|
E300-304 | asam askorbat, natrium askorbat | keju, keripik |
E321 | hidroksitoluena terbutilasi, hidroksianisola terbutilasi | juga digunakan dalam pengemasan makanan |
E310-312 | asam galat dan natrium galat | pemerangkap oksigen |
E220 – E227 | sulfur dioksida dan sulfit | minuman, wine |
E306 – E309 | tokoferol | aktivitas vitamin E |
Berbagai bahan ditambahkan untuk menyerap ion (menonaktifkan) logam yang jika tidak mampu mengkatalisis oksidasi lemak. Bahan yang umum digunakan adalah dinatrium EDTA, asam sitrat (dan sitrat), asam tartarat, dan lesitin.[1]
Senyawa nonsintetik untuk pengawetan makanan[sunting | sunting sumber]
Enzim target asam sitrat dan askorbat yang mendegradasi buah-buahan dan sayuran, misalnya, fenolase yang mengubah permukaan apel yang telah dipotong dan kentang menjadi berwarna cokelat. Asam askorbat dan tokoferol, yang adalah vitamin, adalah pengawet yang lazim digunakan. Pengasapan melibatkan paparan makanan kepada berbagai jenis fenol, yang merupakan antioksidan. pengawet alami termasuk ekstrak rosemary, hop, garam, gula, cuka, alkohol, tanah diatom dan minyak jarak.
Pengawet tradisional, seperti natrium benzoat telah menyebabkan masalah kesehatan di masa lalu. Studi mengenai benzoat menunjukkan bahwa senyawa ini dapat menyebabkan hipersensitivitas pada beberapa penderita asma. Hal ini menyebabkan pemeriksaan ulang pengawet alami yang terdapat pada sayuran.[8]
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Pengawet telah digunakan sejak zaman prasejarah. Daging asap misalnya memiliki kandungan fenol dan bahan kimia lain yang mampu menghambat pembusukan. Pengawetan makanan telah berkembang jauh selama berabad-abad dan telah berperan dalam meningkatkan ketahanan pangan. Penggunaan pengawet kepada selain minyak tradisional, garam, cat, dan sebagainya dalam makanan dimulai pada akhir abad ke-19, tetapi tidak menyebar luas sampai abad ke-20.[9]
Penggunaan pengawet kepada makanan sangat bervariasi tergantung pada negara pengguna pengawet tersebut. Banyak negara berkembang yang tidak memiliki aturan kuat untuk mengatur bahan tambahan makanan menghadapi baik tingkat berbahaya dari bahan pengawet dalam makanan tersebut atau menghindari penuh makanan yang dianggap tidak wajar atau asing. Negara-negara ini juga telah terbukti bermanfaat dalam studi kasus mengenai penggunaan bahan pengawet kimia, karena mereka telah baru-baru ini diperkenalkan kepada bahan tersebut.[10] Di daerah kumuh perkotaan dari negara-negara yang sangat padat penduduk, pengetahuan tentang kandungan dan komposisi makanan cenderung sangat rendah, meskipun mereka mengkonsumsi makanan impor.[11]
Kesadaran masyarakat terhadap pengawetan makanan[sunting | sunting sumber]
Kesadaran masyarakat terhadap pengawetan makanan sangat tidak merata.[12] Orang Amerika memiliki persepsi bahwa penyakit yang ditularkan melalui makanan terjadi lebih sering terjadi di negara lain. Hal ini mungkin benar, tetapi terjadinya penyakit, perawatan di rumah sakit, dan kematian masih cukup tinggi. Diperkirakan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center for Disease Control, CDC) bahwa setiap tahunnya terdapat 76 juta pasien berpenyakit, 325.000 pasien yang dirawat di rumah sakit, dan 5.000 kematian terkait dengan penyakit karena makanan.[13]
Peningkatan permintaan untuk produk-produk makanan segar siap-untuk-dikonsumsi telah menyebabkan tantangan bagi distributor makanan mengenai keamanan dan kualitas makanan mereka. Pengawet buatan memenuhi beberapa tantangan ini dengan menjaga kesegaran untuk waktu yang cukup lama, tetapi bahan pengawet ini juga dapat menyebabkan efek samping negatif. Natrium nitrit adalah pengawet yang digunakan dalam daging, ham, sosis, hot dog, dan daging babi asap untuk mencegah botulisme. Zat ini melayani fungsi penting untuk mengendalikan bakteri yang menyebabkan botulisme, namun natrium nitrit dapat bereaksi dengan protein, atau selama makanan dimasak pada suhu yang tinggi, membentuk N-nitrosamin karsinogenik.[6] Zat ini juga dikaitkan dengan kanker pada hewan laboratorium.[14] Natrium benzoat yang biasa digunakan telah diketahui mampu memperpanjang umur simpan botol pasta tomat selama 40 minggu tanpa kehilangan kualitas.[7] Banyak produsen makanan telah mereformasi produk mereka untuk menghilangkan kombinasi ini, tapi risiko tersebut masih tetap ada.[14] Konsumsi natrium benzoat juga dapat menyebabkan hiperaktivitas. Selama lebih dari 30 tahun, telah terjadi perdebatan tentang apakah benar atau tidak pengawet dan bahan tambahan makanan lainnya dapat menyebabkan hiperaktivitas. Penelitian telah menemukan bahwa mungkin ada kenaikan hiperaktivitas di antara anak-anak yang mengkonsumsi pewarna buatan dan bahan pengawet benzoat dan yang sudah secara genetika cenderung hiperaktif, tetapi studi ini tidak sepenuhnya konklusif. Hiperaktivitas hanya meningkat dalam taraf yang sedang, serta tidak adanya kesimpulan apakah pengawet, pewarna, atau kombinasi dari keduanya yang bertanggung jawab atas peningkatan hiperaktivitas tersebut.[15]
0 comments:
Post a Comment